PENGURUS BESAR ASSOSIASI MAHASISWA AR-RASULLY (PB AMR)

teroueskan membina tabijah islamijah ini sesoai dengan peladjaran yang koe berikan(syekh sulaiman ar-rasully)

Sunday, January 18, 2009

KAMPUS DAN EKSTASI KEKERASAN

Oleh: Nurus Shalihin Djamra

(Direktur Litbang Nagari Institute)

Kekerasan dan agresivitas bukanlah tindakan yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari suatu sindrom. Ia merupakan bagian dari sebuah sistem yang memungkinkannya terjadi, baik oleh dominasi berlebihan, birokrasi kaku, kelas-kelas sosial.

(Erich fromm: 1973)

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada selasa (03/12/08) Sumatera Barat terhenyak oleh berita perkelahian atau tawuran antara dua kubu mahasiswa di kampus IAIN “IB”-Padang, yang kata banyak orang adalah kampus Islami tapi kenyataannya amat berseberangan. Digambarkan; Suasana pukul 18.30 saat itu sempat mencekam, karena satu kelompok mahasiswa yang berada di luar kampus melakukan koordinasi sambil menunggu rekan-rekan lainnya, seolah akan terjadi perang hebat. Benar saja, tawuran tidak dapat dihindari sebagai akibat pemukulan, dan pelecehan yang sebelum telah terjadi terhadap salah satu kubu. Jauh sebelum kekerasan di IAIN, kekerasan, baik dalam bentuk tawuran, perkelahian telah mengeruyak di kampus-kampus di Indonesia, kekerasan di kampus ini telah mengoyak institusi perguruan tinggi sebagai fabricated bagi kaum intelektual dan moralis.

Kekerasan yang mengeruyak di kampus-kampus di nusantara dilatari oleh berbagai faktor, minsalnya di IAIN “IB”-Padang, dan di UNP (Universitas Negeri Padang) tawuran dan perkelahian antar mahasiswa disebabkan oleh pelecehan terhadap satu kelompok, kemudian ditimpali dengan tindakan kekerasan oleh kubu yang dilecehkan. Namun lain lagi dengan kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pada kampus ISI Denpasar (18/9/08), sebagaimana yang dilansir oleh Detik.com bahwa kisruh yang berbuntut kekerasan ini dipicu oleh politisasi pada saat Pilrek. Dalam bentuk lain, Bentrok antar mahasiswa kembali terjadi di Universitas Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 17 November lalu. Terik matahari seolah menjadi saksi atas insiden yang melibatkan mahasiswa fakultas hukum dan mahasiswa Politeknik Negeri Kupang. Ketegangan dua kelompok mahasiswa itu dipicu saling ejek yang bermuara pada salah paham. Emosi akhirnya memuncak dan berujung pada tawuran. Ketika itu mahasiswa teknik dipukul mundur. Situasi semakin panas saat mahasiswa teknik balik menyerang. Perang batu pun tak terhindarkan. Sementara aksi saling serang terjadi silih berganti (liputan6.com: 30/11/08). Beberapa kasus ini setidaknya cukup untuk menjadi fakta betapa kini kampus telah berubah menjadi persemaian kekerasan jenis baru. Kenapa?

Memahami trend kekerasan di kampus, agaknya tidak semudah memahami kekerasan dalam rahah publik lainnya. Ini terletak pada kompleksitas yang menyebabkan kekerasan di kampus. Apalagi kekerasan di kampus bukan hal biasa dan tidak lumrah. Hal ini disebabkan citra yang terlanjur dilekatkan pada kampus sebagai ruang sosial yang semestinya menjadi subjek moral melalui agen-agen moralis yang diproduksi di kampus. Namun kini, seiring merebaknya kekerasan di kampus, dunia perguruan tinggi kian tersudut, tergelepar tak berdaya dalam “sanksian” masyarakat—seolah pergurun tinggi tengah dirudung “kegagalan” hebat.

Medan Baru Kekerasan

Kekerasan di kampus telah menjadi ekstasi jenis baru bagi pelaku kekerasan. Karenanya, kekerasan itu berulang, bermutasi, dan menjangkiti kampus lainnya. Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika Erich Fromm memaknai kekerasan sebagai sebuah sindrom dan seketika menyebar dan menghancurkan sendi-sendi sosial. Kekerasan sesungguhnya tidak tunggal, Ia merupakan bagian dari sebuah sistem yang memungkinkannya terjadi, baik oleh dominasi berlebihan, birokrasi kaku, kelas-kelas sosial. Ini lebih dekat disebut sebagai faktor sosial-kultural yang menyebabkan kekerasan.

Dalam bentuk yang lain, kekerasan juga disebabkan oleh faktor subjektif, yang diistilahkan oleh Erich Fromm dengan “trance”. Trance ini merupakan kondisi mental dan spritual yang mencapai keadaan puncak tatkala jiwa secara tiba-tiba naik menuju tingkat pengalaman yang jauh melampaui kenyataan sehari-hari, sehingga mencapai puncak kemampuan diri dan kebahagian yang luar biasa, diiringi oleh trance dan kemudian pencerahan kala inilah seorang individu mengalami ekstasi personal dan bahkan komunal. Dalam ekstasi ini orang tidak lagi mengenal dirinya. Ia sama sekali menjadi yang lain. Ada kekuatan lain yang mengendalikannya. Ia tidak lagi menjadi dirinya ketika menikmati ‘ekstasi’, termasuk ekstasi penghancuran.

Kekerasan adalah hal yang amat kompleks. Hal ini setidaknya disebabkan oleh kompleksitas faktor yang menyebabkan tindakan kekerasan. Karena itu, untuk memahami kekerasan “kita” mesti mengindentifikasi kompleksitas gesture sosial yang ada disekitar kekerasan berlansung. Berkenaan dengan ini, John Gunn di dalam Violence In Human Society mengutarakan bahwa bencana krisis kemanusian di dalam sebuah masyarakat terjadi bila ikatan positif atau perekat telah hancur hingga berbutut pada kekerasan dan membentuk piramida korban. Dalam locus inilah, kekerasan di kampus menarik untuk dianalisis.

Jika ditarik ke belakang, kekerasan di Indonesia telah membawa bangsa ini kedalam batas-batas irrasionalitas tindakan, entah itu sebagai reaksi dari dominasi ataupun kelas sosial—seolah “kita” sedang diserang oleh gejala sentimental akut yang amat destruktif melalui kekerasan. Ini telah melampaui apa yang selama ini disebut sebagai wilayah kebangsaan, moralitas, cinta, dan persahabatan.

Kita semakin gagap ketika kekerasan dalam tubuh bangsa ini menjalar liar, hingga menjamahi wilayah yang sarat dengan moralitas yaitu dunia pendidikan. Kengerian bercampur aduk dengan kemirisan tatkala menatap dunia pendidikan “kita” hari ini. Jika dalam rimba politik kekerasan menjadi hal rasional, tapi tentu tidak rasional dalam dunia pendidikan. Namun kini, dengan parade kekerasan, entah berbentuk penyiksaan, pelecehan, perkelahian massal—membuat dunia pendidikan, terutama kampus berada dalam wilayah abu-abu; sebagai sphere untuk kaum moralis sekaligus menjadi ranah, ruang baru berjangkitnya tindakan kekerasan jenis baru.

Akankah sama dunia pendidikan “kita” saat ini dengan dunia politik? Di mana, di kampus telah kian kacau, karena di dunia ini kian berseliweran nilai-nilai, kekuatan yang mampu membuat aktor pendidikan lupa diri, lupa identitas dan lupa merawat eksistensialis-Nya. Dunia politik saat ini tak disangah oleh banyak orang sebagai dunia “kacau”, dunia penuh intrik, dunia dimana menjadi ruang bagi kebencian, kesumat—semuanya diarahkan pada satu puncak, yaitu kekuasaan. Tapi mungkinkah dengan parade kekerasan, dunia kampus sebagai “ikon” pendidikan juga mengalami kekacauan yang sama hebatnya dengan dunia politik “kita” saat ini. Dalam bahasa eksistensialis, betapa masyarakat kampus tidak lagi mampu merawat hidup dan eksistensi. Mereka membiarkan hidup dalam kondisi ketidakterawatan. Semua energi ditujukan hanya untuk merawat puncak-puncak kebahagian semata, hingga ikatan-ikatan digantikan dengan dominasi, saling tumpang tindih. Para dosen saling berebut mangsa melalui eksploitasi terhadap para mahasiswa dan mahasiswa pun diposisikan sebagai mesin, tak lebih. Dalam ujung yang lain, mahasiswa pun sibuk membangun citra diri yang sepenuhnya amat narsistik. Demikiankah?

Kekerasan di kampus makin menguratkan betapa perkembangan masyarakat Indonesia, setidaknya berapa dekade belakangan ini—dibanyangi oleh perubahan sosial yang cukup hebat. Di mana pergerakan masyarakat dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Dari kondisi “ekstasi” politik yang hanyut dalam heroik pencitraan, persaingan darwinian bergerak dan bermutasi dalam “ekstasi kekerasan” ke dalam dunia pendidikan. Benang merah yang dapat di utarakan dari kondisi ini, dunia pendidikan sedang dalam sengkarut kekakuan, egosentrisme kekuasaan. Hingga tak ada lagi ikatan-ikatan yang dapat mempertahankan emosional dalam dunia kampus. Alhasil, dunia pendidikan sedang berada pada tahap kehancuran karena didorong oleh transisi values sistemik yang mengendap dalam diri dan setiap aktor dalam kampus.

Sengaja Andre Gorz membangun asumsi dan ternyata benar, bahwa dunia pendidikan saat ini masih berkutat dalam pendidikan borjuis. Karenanya tidak berlebihan jika dalam kampus dominasi, kekakuan birokrasi masih membatu. Akibatnya, pendidikan hari ini hanya mampu melahirkan kultur “ensiklopedik” yang dirancang melahirkan manusia mekanik untuk memenuhi kebutuhan pasar industri. Karenanya, masyarakat kampus adalah manusia kosong dan amat rapuh jika dihantam oleh badai ekstasi kekerasan, dan dominasi—hingga dalam merespon “kekakuan” dan “dominasi” hanya mampu diekspresikan dengan amukan dan agresivitas. Jika, stakeholders pendidikan tidak menyadari gejala ini, maka akan semakin tenggelamlah dunia kampus, dan pedidikan lainnya dalam ekstasi penghacuran, dan kehancuran—semuanya hanya sebatas menikmati realitas yang kosong dan ketakbermaknaan. Semoga tidak!.▪

Saturday, November 17, 2007

ALIRAN SESAT: ANTARA PENYIMPANGAN DAN PROTES

ALIRAN SESAT: ANTARA PENYIMPANGAN DAN PROTES

Oleh: Muhammad Sholihin

Akhir-akhir ini, ruang publik digeliatkan oleh aliran-aliran baru yang cenderung menyimpang dari aliran mainstream yang telah mendapat legitimasi politis. Tak jarang aliran baru ini pun dihantam beramai-ramai, dan semuanya dengan begitu cepat berakhir dengan penjara. Kini umat sedang dikondisikan oleh sebuah sikap-sikap mutlak-mutlakan tanpa memberi peluang sedikit pun melihat secara komfrehensif persoalan yang terjadi. kenapa aliran ini muncul?

Kronik munculnya aliran agama baru dewasa ini, mengingatkan kita pada peristiwa yang sama dan terjadi beberapa abad lampau, ketika Siti Jenar dan al-Hallaj mengegerkan ruang publik dengan lisannya yang nyeleneh—mengaku dirinya sebagai Tuhan atau pun mengatakan para wali adalah bangkai-bangkai yang berjalan. Walhasil, Jenar pun dihukum beramai-ramai. Dengan legitimasi fatwa sesat dari Wali Songo, massa pun digiring untuk menghukumi Jenar dan semua kronik tentang Jenar pun berakhir ditiang gantungan. Tapi image “sesat” bagi Jenar tidak lantas berakhir dan masih terus terhujam disanubari umat. Makanya tidaklah heran ketika muncul aliran-aliran baru, sejenis al-Qiyadah Islamiyah atau pun Jama’ah Islamiyah yang di pimpin oleh Karim Jamak, termasuk aliran Lia Eden--umat pun melemparkan hukuman “sesat” dan dilegitimasi oleh MUI dengan fatwa “sesat”. Jika kita mau membuka mata, sebenarnya mengeliatnya aliran-aliran baru akhir-akhir ini tidak sebatas persoalan Aqidah, tapi berkelidan dengan permasalahan sosial.

Perilaku manusia tidak pernah sunyi dari makna dan manusia akan selalu mencoba mengobjektifikasikan (merasionalisasikan) agama sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kepentingannnya. Max Weber pernah menegaskan dengan lugas bahwa “Semua orang telah berusaha menginterpretasikan hubungan antara etika keagamaan dengan keinginan terhadap situasi dalam cara yang membuat para pendahulu hanya menjadi “fungsi” bagi yang datang belakangan”. Kecenderungan manusia yang menyakini akan sebuah institusi agama, pada dasarnya tidak akan pernah berhenti pada satu titik, tapi akan cenderung bergerak menuju titik lain. Dan pergerakan ini didorong oleh fakta-fakta sosial yang mengekangnya. Tapi kecenderungan untuk mengobjektifikasikan dogma-dogma akan terhenti ketika umat dihegemoni sedemikian rupa dan dikurung dalam praktek-praktek keagamaan yang elitis. Maka dalam locus ini agama akan menjadi hal yang bersipat elitis.

Praktek keagamaan yang elitis tidak membuahkan sebuah perubahan material bagi kehidupan manusia. Ketika agama diobjektifikasikan oleh elite agama, yang terjadi adalah agama akan menjadi ladang legitimasi politik bahkan sebagai ladang untuk interest ekonomi. Dimana Islam dalam locus ini dipaksakan sebagai sebuah lokomotif untuk mobilisasi politik atau pun ekonomi, seperti halnya zakat, distrukturkan sebagai media ekonomi secara parsial. Akibat dari praktek keagamaan yang elitis adalah disfungsi agama sebagai sebuah perubahan sosial dan agama hanya mampu menjadi ritualitas. Sementara itu, dalam tataran praksis ketika islam diseret sebagai agama elitis baik dalam dunia politik maupun ekonomi, tetap saja Islam belum mampu didorong sebagai solve problem bagi individu-individu awam yang hidup dalam tekanan ekonomi maupun politik.

Mencari Akar Masalah

Kemapanan dan sikap tidak peduli, hegemoni melalui legitimasi agama adalah fenomena yang kerap ditemui dalam realitas kehidupan manusia dewasa ini. Kehidupan manusia kini telah menjadi ladang-ladang yang produktif bagi kemapanan, easy going, bahkan hegemonisasi. Hingga manusia selalu hidup dalam realitas yang serba paradoks, sebutlah ditengah keshalehan masih kentara sikap kedurhakaan, ditengah kemakmuran masih saja subur kemiskinan, dan ditengah tuntutan kebebasan masih juga dihantui oleh ketiranian. Apa sebenarnya yang salah dengan manusia? Keadaan ini menjadi fakta-fakta yang selalu membuat manusia selalu berada dalam realitas yang tertekan bahkan tereksploitasi. Hingga bagi manusia yang sadar akan dirinya akan berusaha mencari sebuah kanal untuk menyalurkan pemberontakan terhadap kemapanan yang timbul dari agama, maupun struktur material dari kehidupan manusia.

Setiap manusia dibekali oleh akal kreatif yang selalu ingin bebas dari tekanan-tekanan yang destruktif, baik tekanan yang timbul dari kultur mau pun struktur. Dan dalam tataran praktis manusia yang merasa tertekan atau pun tereksploitasi akan selalu berusaha menyimpang (devians) dari bentuk mainstream dari kehidupan yang mapan. Hingga penyimpangan dari agama sebenarnya tidak saja berasal dari inner motif tapi ada struktur yang menyebabkan penyimpangan ini terjadi. Mengeliatnya aliran-aliran baru dalam kehidupan beragama Islam dewasa ini, pada dasarnya tidak hanya didorong oleh arus liberalisasi pemikiran dalam islam. Tapi ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kemunculan-kemunculan aliran baru ini. Seperti, persoalan kemiskinan, politisasi agama. Dengan ini manusia dalam tindakannya tidak pernah sepi dari motif yang mendorongnya. Hal ini, tepat dikatakan karena manusia adalah mahluk jasmaniah yang bertindak sesuai dengan stimulus yang menerpanya.

Jika ditelisik kedalam realitas kehidupan umat, maka timbulnya “aliran-aliran” baru tidak semata-mata persoalan perusakan Aqidah, tapi melihat realitas kehidupan beragama yang dewasa ini mulai karut marut—kekerasan dengan metode “kambing hitam” agama, sublimasi praktek keagamaan yang elitis, menyebabkan agama tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hingga tidaklah lacur ketika “aliran-aliran” baru bermunculan sebagai akibat dari proses karut-marut kehidupan beragama yang muncul dari rahim ketidak pastian nilai para elit-elit agama. Kadang nilai-nilai pragmatis selalu menyertai keshalehan dan tumpang tindih pun antara nilai-nilai trasenden dengan nilai-nilai profan menyebabkan praktek keagamaan kian larut pada ritualitas elitis. Dalam keadaan ini, aliran-aliran baru merupakan sebuah auto kritik terhadap penyimpangan praktek keagamaan ke arah ritualitas elitis. Karena protes tidak saja bersipat silent, tapi ada juga protes yang bersipat menifest. Dan kemunculan “aliran baru” dalam Islam adalah protes yang manifest serta ditujukan secara gradual bagi kemapanan yang cenderung dipraktekan dewasa ini.

Pecahkan secara demokratis

Tak ada manusia yang ingin terusik ketenangan keberagamaannya dengan hal-hal yang menyimpang. Namun juga tidak ada manusia yang rela dihakimi, karena mereka adalah kaum minoritas. Maka pergulatan antara minoritas vs mayoritas akan selalu membatu dan tidak ada ujungnya. Hingga negara pun melakukan tindakan secara legal-formil, dengan pendekatan hukum. Maka gerakan minoritas yang meresahkan akan selalu ditekan dan pada akhirnya diseretkan pada kanal yang sempit, kemudian berakhir ditiang gantungan mau pun penjara. Bukankah penyimpangan jika ditekan akan semangkin terhujam dan akan berakar dengan kuat? Negara akan direpotkan secara permanent dengan perilaku penyimpangan yang pada dasarnya adalah sebuah gerakan silent opposition untuk kemapanan. Dia akan terus bermutasi, dan pada titik klimaksnya akan mengalahkan legitimasi negara lewat proses yang tidak diduga-duga.

Hak Asasi Manusia memang bersipat gradual, dan dengan dengan makna HAM yang gradual ini negara menyemai legitimasi untuk menekan penyimpangan dari gerakan minoritas “aliran-aliran sesat” ini. Tapi bagaimana pun reason dibalik tindakan negara terhadap aliran sesat, tetap akan ada sesuatu yang dikorbankan. Makanya pendekatan demokratis lewat proses yang dialogis dan melibatkan public reason penting dilakoni oleh negara. Pendekatan hukum tetap akan bermakna “hegemoni’ bagi kelompok minoritas “aliran sesat”. Makanya perlu proses pemecahan yang lebih demokratis-dialogis, bukan proses demokratis-prosedural, seperti pendekatan lewat jalur hukum. Allahu A’lamu

Tuesday, August 28, 2007

cerpen Muhammad Nasir

Harimau Terakhir Cerpen: Muhammad Nasir
"Harimau yang datang tadi malam, betul-betul harimau!"
kata Inyiak Sati

"Inyiak balang?" Tanya Palimo

"Apapun sebutannya, harimau tetaplah binatang. Sekali
binatang tetap binatang!" putus Inyiak Sati

Inyiak Sati, orang tua sepuh itu tak lagi
berkata-kata. Rokok daun tembakau dimulutnya dihisap
senikmat-nikmatnya seraya mencungkil kotoran di ibu
jari kakinya.

Diam. Tak ada yang berbicara. Asap tembakau Inyiak
Sati menjalar ke awang-awang. Ada juga yang singgah di
hidung enam pria yang datang kepada Inyiak Sati.

Oh, ya, agaknya penting juga memperkenalkan enam pria
yang minta petunjuk kepada lelaki tua yang sudah
didaulat jadi tetua kampung seumur hidup. Palimo,
agaknya ia pemimpin rombongan. Jabatannya adalah
kepala Jorong. Pengiringnya adalah Kutar, Sulan,
Saman, Masri dan Aswar. Sejak Palimo terpilih jadi
kepala Jorong, kelima tim suksesnya ini senantiasa
membuntut seperti kerbau dan pedatinya.

Enam pembesar jorong ini sengaja mengunjungi Inyiak
Sati. Mereka tahu persis, kakek tua itu meski bukan
zoologist, tahu banyak tentang harimau. Riwayat
hidupnya tidak lepas dari pergaulan liarnya denga
harimau atau inyiak baling, sebutan takzimnya. Konon
semenjak muda Inyiak Sati sering berkelahi dengan
harimau. Baik sewaktu berprofesi sebagai petani
ataupus sebagai pejuang yang sering bergerilya masuk
keluar hutan melawan kompeni. Kadang-kadang ia juga
sengaja bergelut dengan harimau sekedar mempermahir
gerak bela diri. Paling spektakuler adalah melawan
harimau jadi-jadian, jelmaan dukun kafir yang tak
pernah mandi dan sembahyang. Oleh sebab itu, masalah
harimau yang menyatroni kampung, mereka anggap Inyiak
Sati lah expert-nya.

Keheningan itu pecah juga. Seperti bisul mengkal yang
menunggu bernanah.

"Tolonglah Nyiak,pagari kampung kita" pinta Palimo.

"Iya, Nyiak" Kutar turut pula menukuk.

"Bisa habis ternak kita nantinya Nyiak" si Sulan ikut
menyela.

"Saya juga takut menakik getah Nyiak, bisa rengkah
kepala saya" Saman bicara pula.

"Konon kampung sebelah juga diserang. Ibu-ibu pencari
kayu baker sampai terkencing di celana mendengar
aumannya" Masri sekedar mencontohkan.

Sudah lima orang bermohon. Inyiak Sati seolah tidak
mendengar. Sehabis mencungkil kuku, kini ia mencabut
bulu hidung. Asap rokok sesekali ia tiupkan ke langit.
Ia menerawang seperti berpikir. Tetapi sebenarnya
tidak. Ia sedang mengamati kemana perginya asap rokok
daun enaunya. Yang tersisa kembali diam. Bahkan
anginpun tidak bertiup di ruang tertutup itu. Sampai…

"Hey, Aswar, kenapa kau menggigil?" tiba-tiba pria
gaek itu menunjuk Aswar,lelaki keenam yang belum
bicara.

Aswar tergagap.

"Anu, Nyiak, saya punya pusa-pusa di kening. Apa saya
juga diincar harimau itu Nyiak?"

Dalam pertanyaannya Aswar mengandung harap. Berita
baik dan jawaban "bukan" dari Inyiak Sati.

"Kau sudah dipilih Aswar. Ajalmu akan tiba.
Bersiap-siaplah!" jawab Inyiak Sati.

"Haaa?" Aswar terperanjat. Pantatnya melompat sepuluh
senti dari tempat semula.

"Apa usaha kita Nyiak?" kecuali Aswar, kelima pria itu
bertanya serempak.

"Entahlah". Itu saja yang keluar dari mulut keriput
Inyiak Sati.

Ia melangkah ke luar rumah. Jelas mengarah ke bangunan
kayu di samping rumahnya. Jika ada yang bertanya,
bangunan itu adalah surau Inyiak Sati, warisan ayahnya
Angku Imam.

Entah apa maksudnya.orang tua itu berputar-putar di
dalam surau kecil empat kali enam meter itu. Tumpukan
kitab kuning, alqur'an dan entah tulisan apalagi yang
ada di sana ia tepuk-tepuk. Beliau bersin. Dinding
papan tanpa cat itu juga ia guguh, dan berbunyi
bukk…bukk. Setelah itu terdengan bunyi seperti orang
pipis, atau seperti pasir berseluncur di atap. Itu
bunyi bubuk kayu. Anak-anak sini menyebutnya cirik
anai-anai.

Enam pria itu mengikuti Inyiak Sati ke dalam surau.

"Inyiak, bagaiman tentang harimau tadi?" ulang Palimo
bertanya.

"Papan ini mulai lapuk" jawab Inyiak Sati. Tentu saja
tidak menyambung dengan pertanyaan. Tetapi lelaki tua
it uterus saja bercerita.

"Dulu bapakmu sampai terkencing-kencing memikul papan
ini. Ia ikut menebang, membelah dan mengetam kayu ini.
Bapakmu punya andil membangun surau ini" kenang Inyiak
Sati.

Pernah merasakan bingung? Itulah yang dialami Palimo.
Lain ditanya lain pula dijawab.

"Kami tahu, Nyiak" jawab Palimo seadanya.

"Sudah berapa lama surau ini tidak dipakai? Tanya
Inyiak Sati.

"Kurang lebih duapuluh tahun Nyiak" jawan enam orang
itu serempak.

"Ada berapa buah surau di jorong ini selain surauku
ini?

"Dua Nyiak," jawab Palimo.

Kalau begitu kembalilah ke suraumu, rubuhkan dan
bangun surauku ini, seperti dulu.

Dalam hati Palimo, mengumpat "gaek tea". Tapi ia
teringat masa kecilnya.

Surau Inyiak Sati adalah tempat ia mengaji alif-ba-ta.
Tempat ia tidur sewaktu jejaka. Tempat Kak Ciah dan
Uwan Sirun menyelesaikan perkara rumah tangga. Tempat
bersaksi orang yang melakukan pagang gadai pada
hartanya. Tempat orang berdebat masalah adapt. Hampir
semua urusan pribadi atau bersama terjadi di surau
ini. Bukan apa-apa, semua hanya karena Inyiak Sati
berdiam di surau ini. Tak sekalipun ia mau pergi ke
balai nagari atau ke kantor desa. Meski parewa, Inyiak
Sati tak kalah dalam bidang agama. Makanya ia berani
tinggal di surau.

Sekarang surau itu tidak berfungsi. Tak sekalipun azan
terdengar dari surau ini. Apa sebab? Inyiak Sati tak
tinggal lagi di surau sejak Surau Baru berbahan batu
dan semen di bangun di Balik Air, kampung seberang
surau Inyiak Sati, masih di jorng yang sama. Kata
orang-orang sebelum membangun surau bariu, surau
Inyiak Sati sudah sempit. Tak muat lagi untuk
bersembahyang orang se jorong.

Setelah dibangunpun, Surau Baru tak pernah ramai.
Sedikit saja orang yang sembahyang. Tak ada yang mau
tetap menjadi imam. Imam sembahyang adalah orang yang
dulu tiba di surau kemudian didaulat jadi imam.
Kadang-kadang orang teringat Inyiak Sati. Sejak pagi
hingga malam hari ia tak pernah henti datang ke surau.
Menjadi imam dan mengajar mengaji.

Inyiak Sati tak pernah datang ke Surau Baru. Dingin,
katanya. Maklum Surau Baru sudah permanent. Berdinding
bata berlantai semen. Surau Baru langsung diresmikan
bupati.Sejak itu pula Inyiak Sati tak berpenghuni.
Sekarang Surau Baru itu disuruh rubuhkan. Orang tua
edan. Begitu pikir Palimo.

"Rubuhkan Nyiak? Kenapa? Itukan surau permanent?"
protes Palimo.

"Ya. Kalian tea. Sudah jelas kampung kita dingin,
dibangun pula surau batu. Itu bukan surau, tetapi
ngalau batu. Masuk angin lah kalian!" Inyiak Sati
memaki-maki.

"Tapi Nyiak" Palimo mencoba protes.

"Tak ada tapi-tapian, kerjakan!" pangkas Inyiak Sati
pertanda protes ditolak.

"Bagaimana Harimau itu Nyiak?"

"Sekali binatang tetap binatang!" Inyiak Sati seperti
bersemboyan.

Pembicaraan usai.

***

Malam harinya, sesudah Isya'. Tak biasanya Palimo
menjadi Imam. Gara-gara harimau seekor ia terpaksa
berkumpul dengan beberapa orang yang dianggap perlu.
Membahas bagaimana caranya membujuk Inyiak Sati.

Ada sembilan orang pria termasuk Palimo. Apa cerita
mereka?

"Apa kalian mendengar auman harimau senja tadi?" Tanya
Palimo.

"Ya," jawab seseorang. Yang tujuh lagi
mengangguk-angguk pertanda iya.

"Menyedihkan sekali. Mungkin harimau itu sedang lapar.
Tapi kenapa ia melenguh melengking setinggi langit?"

Tidak ada yang menjawab. Palimo gelisah.

"Sebelum ke surau, tadi saya singgah ke rumah Inyiak
Sati. Tapi orang tua itu tak di rumah" Palimo
bersandar ke dinding. Kiblat berada di sisi kirinya.

"Saya kehilangan seekor kambing" kata seseorang.

"Korban mulai jatuh!"

"Apa usaha kita? Hey kalian cobalah berpikir. Sudah
mati otak kalian rupanya, semprot Palimo.

"Kemana Inyiak Sati?"

"Entahlah, saya sudah tanyakan kepadaTek Ciah. Tidak
tahu. Besok ia pulang, kata bininya itu"

Palimo mencaplok rokok di tangan seseorang. Ia merokok
mencari inspirasi.

"Aku tahu perangai gaek itu. Kalau ia perintahkan
memperbaiki suraunya, pasti ada gunanya. Tetapi yang
aku tak mengerti, kenapa Surau Baru ini harus
dirubuhkan? Apa pikiran kalian?" tawar Palimo.

Lama berdebat, tak seorangpun yang tahu apa maksud dan
tujuan dari perintah Inyiak Sati itu. Kalau membangun,
bolehlah bisa diterka manfaatnya. Tetapi kalau
merubuhkan, tak ada terlihat kegunaannya. Namanya saja
merubuhkan. Pasti maknanya buruk, merusak, begitu
pikir mereka. Sampai seseorang mengusulkan….

"Begini saja, kita perbaiki surau Inyiak Sati, tapi
Surau Baru ini jangan dirubuhkan dulu, siapa tahu
surau Inyiak Sati berguna untuk mengusir harimau"

Apa pula hubungan surau dengan harimau? Tetapi tentang
yang ini tak banyak yang berdebat. Semua setuju
memperbaiki surau Inyiak Sati. Palimo bahkan
menawarkan papan yang banyak tersandar dirumahnya.

"Ini, strategi namanya. Taktik…taktiiiik…!" teriak
Palimo seperti Jendral Sudirman.

Mereka pulang dengan muka cerah. Namun rasa cemas
tidak hilang dari hati mereka. Harap-harap cemas.
Harap sampai dirumah dengan selamat. Cemas,seandainya
di jalan bertemu inyiak balang.

***

Belum selesai ayam jantan berkokok, Palimo sudah
gerilya dari rumah kerumah. "Gotong royong ke Surau
Inyiak Sati!" itu saja perintahnya.

Singkat cerita, saat tanah sudah terlihat wujudnya,
saat embun sudah pasti pergi meninggalkan bumi, saat
itu pula terkumpul puluhan laki-laki yang dikenai
wajib goro berkumpul di surau Inyiak Sati. Tetapi
masalah muncul lagi. Ke mana Inyiak Sati? Kurang
taratik namanya membongkar surau Inyiak Sati tanpa
seizinnya. Meskipun pekerjaan ini atas permintaan yang
bersangkutan.

Hari makin tinggi. Kopi sudah lama terhidang. Yang
tersisa cuma ampas di ekor teko. Inyiak Sati belum
juga berhasil ditemui. Orang tua itu bagai hilang di
telan bumi. Palimo gelisah. Warga peserta goro mulai
macam-macam ada yang mengancam akan pulang, bila
pekerja belum dimulai. Beberapa orang mulai minta
tambah kopi. Ada juga yang minta dibelikan rokok.
Bahkan ada yang minta nasi. Palimo mulai tak enak
hati. Matahari tegak tali.

Elang memekik di angkasa. Induk ayam mulai menyurukkan
anaknya satu persatu di bawah perut dan ketiaknya.

Seiring pekik elang, terdengar bunyi menggelegar di
dalam surau Inyiak Sati. Suara dinding papan dihantam
mortir.

Orang-orang yang berkumpul di halaman surau tergagau.
Ada yang menyebut abak mandehnya. Ada yang menyebut
nama tuhan. Ada yang memegang dadanya berharap tali
jantungnya tidak ada yang putus. Palimo cepat
mengendalikan diri, melihat ke dalam surau.

"Ondeh mandeh!" Palimo tergagau untuk kedua kalinya.
Mukanya pias, putih seperti telapak kaki.

Sesosok wajah yang bersirobok dengan wajah Palimo itu
adalah wajah Inyiak Sati.

"Ada apa Nyiak? Terlongsong benar garah Inyiak" sesal
Palimo.

"He…he…maaf, ketika saya masuk dari pintu samping,
engselnya lepas. Pintu terhempas" Inyiak Sati tertawa
puas.

"Ini, bukalah!". Inyiak Sati menyodorkan bungkusan
daun pisang.

"Apa itu Nyiak?" tanya Palimo.

"Telinga Harimau! Simpan baik-baik. Ini harimau
terakhir di kampung kita. Setelah ini, aku tak akan
berburu lagi"

Muka Palimo membesar saking gembiranya.

“Oh, ya, sampaikan juha ke orang-orang, seekor
kambingnya dimakan harimau. Aku yang memberikan”
Inyiak Sati kembali menyulut sebatang rokok.

"Hoyy, harimau itu sudah mati!"

Orang-orang berteriak kegirangan. Ronaldo baru saja
menjebol gawang Atletico Madrid. Penonton bersorak.
Begitu pula euphoria di halaman surau Inyiak Sati.

"Sekarang, kerjakan surauku. Ini adalah surau terakhir
yang dibangun di kampung ini. Jangan ada lagi surau
sesudah ini. Surau ini adalah kenang-kenanganku untuk
kalian. Surau kalian itu hanya gedung batu. Tak ada
artinya" perintah Inyiak Sati.

Semua orang bekerja dengan rajinnya. Kaki jadi kepala,
kepala jadi kaki. Begitulah, kalau orang bekerja
dengan sukarela. Sebentar saja, surau itu selesai.

Surau Inyiak Sati tegak seperti baru. Orang-orang
terperangah kelelahan. Tak sadar mereka, saat bekerja
tadi Inyiak Sati sudah tersandar di tonggak pagar.
Palimo berjalan menuju Inyiak Sati. Ia akan menanyakan
kenapa Surau Baru harus dirubuhkan? Sekarang surau
Inyiak Sati sudah berdiri.

Inyiak Sati diam seperti tidur nyenyak. Lelaki tua itu
tak bereaksi. Palimo mencoba menyentuhnya. Inyiak Sati
diam saja. Meski matanya tertuju ke arah suraunya, ia
tak melihat apa-apa. Inyiak Sati tak bernyawa.

Palimo tak mendapat jawaban apa-apa tentang semuanya

                                              
               Padang, 10 Agustus 2007



Tentang Penulis

Muhammad Nasir,  lahir di Medan 15 Mei 1977. Alumni
Sastra Arab IAIN Imam Bonjol Padang. Menulis Cerpen
dan Puisi sejak 1993 yang tersebar di koran lokal
Sumbar, seperti  Mimbar Minang, Padang Ekspres, Harian
Singgalang dan Haluan. Di samping menulis Cerpen dan
sajak, juga menulis artikel dan opini yang beraroma
human interest. Alamat Subag. Humas IAIN Imam Bonjol
Jl.Prof. M.Yunus Padang, Telp/HP. 08126712099. email :
kbsati3@yahoo.com



Sunday, August 12, 2007

TAN MALAKA: PAHLAWAN OFF THE RECORD

TAN MALAKA: PAHLAWAN OF THE RECORD

Oleh: Muhammad Sholihin

(Alumni MTI Candung 2003)

“Namun sejak orde baru, namanya (Tan Malaka) dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah. Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Tetapi dalam buku teks sejarah ia tidak boleh disebut. Atau menurut istilah seorang peneliti departemen sosial, Tan Malaka menjadi “off the record’ dalam sejarah Orde Baru”

(Asvi Warman Adam)

Dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia menuju bangsa yang merdeka, Tan Malaka mempunyai posisi yang sejajar dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim. Namun sejarah sang penguasalah yang menengelamkan Tan Malaka ke dalam lumpur sejarah yang diciptakan oleh kekuasaan. Dalam konteks ini tidaklah berlebihan jika dikatakan “sejarah adalah milik orang yang berkuasa”.

Ketika sebuah rezim mulai menunjukan kuasa, maka dari segala arah para Hulubalang dan Pangrehpraja menunjukan kesetiaannya dalam aneka ragam bentuk. Mereka menciptakan sejarah dengan cara memanipulasi data dan argumen untuk kekuasaan itu sendiri. Peranan Soeharto yang mengecilkan peranan Sultan Hamengkubuwono IX dalam serangan umum atau terpublikasinya gambar “Soeharto bersama Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam suatu upacara,” suatu contoh mungkin masih kita ingat. Tiadanya kebebasan intelektual yang membentengi kaum terdidik dalam menyatakan kebenaran sejarah. Jika pun terdapat “pahlawan” ia dapat dikalahkan oleh mesin politik kuasa. 32 tahun kuasa rezim Orde Baru berkuasa telah menebarkan ketakutan luar biasa—kuasa-Nya telah mengintimidasi nalar setiap orang (Zulhasril Nasir, 2007: vii). Seorang Tan Malaka telah dilenyapkan dari pentas sejarah oleh kekuasaan rezim Oder Baru, soalnya, dengan peristiwa testemen yang dilakukan oleh Tan Malaka terhadap Soekarno, ia mesti dilenyapkan dari memori rakyat. Walhasil, tidak tangung-tangung Tan Malaka seolah-olah diterkam zaman dan tengelam dalam hiruk pikuk pengkaburan sejarah oleh penguasa. Bahkan, dirahim tanah kelahirannya ‘Minangkabau’ kiprah Tan Malaka mulai redup dalam ingatan generasi Minang, siapakah yang salah?.

Dalam pentas perjuangan, Tan Malaka bukan saja seorang prajurit yang pernah mengangkat senjata menghapus telapak penjajah dari Indonesia. Tetapi unik, dalam epos perjuangannya, Tan Malaka telah melahirkan karya-karya yang luar biasa dan dalam petilasannya telah membuat kagum peneliti-peneliti dari mancanegara akan ketajaman pena-nya dan hujaman pikirannya yang menyentuh langit-langit perjuangan revolusinya. Dalam catatan dan masih bisa ditemui, ada beberapa karya briliant Tan Malaka yang masih menjadi referensi di Indonesia dan di mancanegara, seperti, Madilog, Merdeka 100 %, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, Massa Aksi dan Uraian Mendadak. Tan Malaka sebagai seorang pejuang yang lahir dan dibesarkan dari rahim Minangkabau telah menorehkan sejarah perjuangan bangsa yang unik dan aktual akan selalu berbekas dalam memori generasi yang masih mau menerima, dan membaca siapa gerangan Tan Malaka.

Dalam pentas sejarah, Tan Malaka dinilai sebagai pahlawan nasional yang mempunyai mobilitas perjuangan yang tinggi dan terpanjang. Alasanya 30 (tiga puluh) tahun mobilitas perjuangan Tan Malaka tanpa henti, baik dalam negeri maupun diluar negeri dan tercatat berjuang dalam lintas internasional dalam rangka melakukan agitasi terhadap dunia, agar Indonesia merdeka 100%. Tercatat Tan Malaka pernah menginjakkan kakinya di dalam negeri, dari Pandan Gadang (Suliki), Bukit Tinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kendiri, Surabaya. Di luar negeri mulai dari Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Hampir tidak ada pahlawan nasional yang memiliki mobilitas sepanjang Tan Malaka, namun “kenapa dalam sejarah, ia dilenyapkan dari memori rakyatnya?.

Redup di Negeri Sendiri, Bercahaya di Negeri Orang

Adanya benarnya kata peneliti, bahwa Tan Malaka adalah pahlawan yang “off the record” dalam sejarah orde baru. Hal ini bertitik tolak dari literature yang terbilang minim mengkaji epos perjuangan Tan Malaka atau pun pemikiran-Nya. Sudah dipermaklumi, karena Tan Malaka di mata rezim Orde Baru adalah pemberontak yang ingin meruntuhkan negara Republik Indonesia dan serta merta yang berhubungan dengannya dilenyapkan dan dikaburkan oleh kekuasaan. Cap ‘seorang pemberontak’ bagi Tan Malaka bermula ketika Tan Malaka berupaya mendirikan Negara Demokrasi Indonesia pada momentum Belanda masuk ke Yogyakarta 19 Desember 1948. Ketika itu, diumumkan bahwa Soekarno-Hatta tertangkap. Dengan alasan bahwa Presiden dan Wakil Presiden sudah tidak ada, Tan Malaka memproklamasikan berdirinya GPP (Gerakan Pembela Proklamasi) di atas Gunung Kawi. Lahirlah kemudian Gerakan Kawi Pact yang bertujuan untuk meneruskan cita-cita komunisme ala Tan Malaka. Ia memproklamasikan berdirinya Negara Demokrasi Indonesia dengan dalih, bahwa pemerintah RI Soekarno-Hatta sudah tidak ada. Pengumuman berdirinya Negara Demokrasi Indonesia, sekaligus dilakukan dengan penunjukan dirinya sebagai Presiden, dengan mengangkat Kolonel Warrow sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabaruddin sebagai Panglima Besar GPP (Dalam Nur Hadi, 2006). Atas alasan inilah, Tan Malaka dicap sebagai pemberontak oleh rezim yang berkuasa dan siklusnya, Tan Malaka harus rela dipenggal dari pentas sejarah kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Di luar konteks di atas, seorang pahlawan yang berjasa dan telah turut andil dalam membangun cita-cita kemerdekaan, ia tidak akan pernah mati dalam mata sejarah, walau bagaimana pun kuasa menguburnya dalam lumpur, akan tetapi ia akan senantiasa bersinar menembus dalamnya lumpur buatan kekuasaan. Dan Tan Malaka yang dikubur oleh sejarah negeri sendiri, tetapi hidup dan bercahaya dinegeri orang lewat pena para sejarahwan yang objektif menilai dan mendalami ruang-ruang misteri perjuangan yang digubah oleh Tan Malaka.

Adalah Rudolf Mrazek yang mengukir Tan Malaka lewat bukunya “Tan Malaka a Political Personality’s Structure of Experience”, Kemudian Harry Poeze telah mengabadikan Tan Malaka lewat bukunya setebal 2194 halaman dan berharga 99,90 euro. “Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949.” Dan menjelang tahun 1980-an, terjadilah arus balik penulisan sejarah Tan Malaka terutama di Eropa, Mulai dari Belanda dengan karya Harry Poeze, sampai ke Australia yang ditulis oleh Helen Jarvis. Penulisan sejarah Tan Malaka di luar negeri ini menjadi bukti bahwa Tan Malaka bercahaya di negeri orang, dan diredupkan di negeri-Nya sendiri.

Sesuai dengan hantaran di atas, maka pantaslah pertanyaan ini dilemparkan “Apakah Tan Malaka pahlawan Indonesia? Sebab terlalu besar mengangapnya menjadi pahlawan dari bangsa yang menganggapnya kecil

Thursday, July 19, 2007

SAJAK-SAJAK RAHMI FATHIAH

SAJAK-SAJAK RAHMI FATHIAH

BAIT-BAIT

Setiap langkahku yang terpatri di kegetiran waktu

Tetes air mata yang tertuang di pedihku

Tambal-tambal perkasa yang tertutupi qalbu….

Atas sejuta rintih dan pilu…

Mentari ataupun embun

Tak lagi mampu hangatkan dalam jelaga pekat

Atau sejukkan dalam kehausan mencekat

Karna aku semakin tandus dalam kerinduan

Semakin kering di ruang kehampaan

Bagaimana kan ku cabut sejuta duri yang kau hunuskan bersama naifmu

Di puri-puri kebekuanku

Atau ku keringkan lelehan duka

Yang mencekal dalam ragaku

Sedang aku masih terpasung dalam laknat…….

Tertimbun dalam onggokan dosa yang nista

Dan entah sampai kapan jiwa liarku bertahan

Berlutut dalam kegelapan dan bisikan syeitan

Padahal jauh di sudut rapuh qalbuku

Ada sentuhan ilahi yang ekat

Leburkanku dengan cinta yang hangat

Ada bait-bait do’a yang terbata

“Ya Allah….ampunkan dosa-dosa ku”

Candung-Bukit Tinggi 2007

TAUBAT

Waktu ku lalai dan lupa shalat

Ku tahu aku bukan hamba yang suka beribadat

Aku manusia yang slalu dihampiri maksiat

Yang terpedaya dengan kenikmatan sesaat

Dunia hampir kiamat….

Aku sadar aku telah sesat

Ku berdo’a dan meminta rahmat

Tenyata Allah masih bukakan pintu taubat

Dan…aku bertaubat

Tak ku hiraukan lagi rayuan syeitan yang jahat

Tak ku dengarkan godaan iblis yang keparat

Tak ku acuhkan musuh-musuh isam yang laknat

Ku jauhkan diri dari dosa yang berkarat

Seluruh tubuh ku sampai jidat

Bersujud sembah menghadap kiblat

Meresapi firman Allah yang hangat

Sejukkan nurani dengan senandung malaikat

Coba kerjakan yang yang wajib dan sunat

Coba tumbuhkan cinta yang melekat

Ke arah kiblat ku bermunajat

Mengharapkan rahmat dan berkat

Berdo’a kepada sang penguasa dunia akhirat

Agar dunia ini penuh dengan nikmat

Tanpa kemurkaan dan laknat

Rabbi ku….aku bertaubat…..

Pakan Kamih, Candung 2007

BENARKAH

Tuhan…..

Sudah ku rangkum langkahku jadi satu

tuk mencaraimu disahara pegembaraanku

sudah ku Tanya pada negriku

tentang demokrasi dan sumpah suci

tapi tak ada jawaban yang pasti

walaupun aku masih tetap di sini….

Tuhan….

Sudah ku tutup rapat telinga dan mataku tuk temuimu di perjalanan kelelahanku

Tapi mengapa tetap ku lihat dan ku dengar

Raung-raung si miskin dalam kelaparan

Bahak-bahak penguasa dalam kepuasan

Mengapa tetap ada air mata dalam rintihan kemerdekaan

Padahal republik ini seutuhnya miliki kita

Ataukah…kan tergadai keyakinan

Dalam perniagaan tanpa harga

Karena penikmat kemerdekaan terlalu foya

Terlalu lupa….dan terlalu durhaka…..

Tuhan….

Kami adalah pemakai lusuh yang hidup dalam keibaan

Kami adalah luka..

Yang menganga dalam kebebasan

Kami adalah teriakan-teriakan hina

Yang tercampak dalam perubahan

Yang senantiasa tadahkan tangan

Mengharap keharibaan Mu…

Kami adalah bagian dari republik ini

Yang selalu bertanya…

Benarkah Indonesia merdeka….

Candung, 2007

BAGIAN DARI WAKTU

Waktu adalah kesempurnaan

Yang ajarkan manusia betapa durjananya kehidupan…..

Waktu adalah titik-titik hitam…..

Yang melukiskan benci dalam jerat perbedaan

Dan rasaku adalah bagian dari waktu..

Yang ajarkanku tersenyum ketika kau lenyap dari ciptaku,..

Karena memang ini kenyataan…

Dan kau satu serpih dari sekian serpih yang ku buang..

Kau tahu…ada sebongkah harapan di sini..

Dalam setiap langkah yang terpatri di kebosanan

Harapan tentang….

Cahaya itu agar papahku menuju ketegaran

Karena di sudut lemah rapuhku

Ada secercah asa yang tak terkata…

Di atas pijar yang kian membeku

Ada seberkas sinar yang membayang semu..

Di antara langit yang nyaris kelabu

Lalu ajarkan ku…

Bahwa aku… dan perbedaan itu

Adalah bagian dari waktu…

Candung, 2007

RAMHI FATHIAH adalah santri kelas VI (Enam) dari pesantren yang di dirikan oleh Inyiak Candung (MTI CANDUNG) dan saat ini masih mengasah diri untuk tetap berkarya dan menghabiskan waktunya merenungkan apa yang pantas di ekspresikan melalui kata-kata. Masih terbilang tanggung bagi seorang Rahmi untuk menguluti fenomena politik, kehidupan dan ekspresi rohani, tetapi melalui karyanya ini--beliau sanggup mendefenisikan dirinya sebagai pembangkang terhadap penyimpangan yang terjadi. Sajak-sajaknya ini tergolong populis dengan hujaman kata-kata yang lugas membuat realitas yang disunguhkannya hidup dan bergerak.

Thursday, July 05, 2007

prediksi semu pertumbuhan ekonomi

PREDIKSI SEMU PERTUMBUHAN EKONOMI

Oleh: Muhammad Sholihin

(Kabid. PA-HMI Komisariat Syari’ah IAIN “IB”)

Pertumbuhan ekonomi adalah ultimate goal (tujuan puncak) dari usaha pemerintah dan aktor-aktor ekonomi—Bankir, Pialang dan Ekonom, ritualitaspun berulang-ulang dilakukan dalam rangka meraih pertumbuhan ekonomi tersebut, katakanlah serangkaian jurus dikeluarkan oleh pemerintah mulai dengan kebijakan Fiskal (fiscal policy), sampai konsulidasi moneter yang dibidani oleh Bank Indonesia. Setelah berbagai macam jurus diimplementasi oleh berbagai aktor ekonomi, terutama pemerintah dan Bank Indonesia, lahirlah gugusan angka-angka yang dipublikasikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik).

Angka-angka ini diterjemahkan sebagai sebuah laporan kepada publik atas kinerja pemerintah dan Bank Indonesia dalam membidani perekonomian. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh BPS ini terdiri dari berbagai macam fenomena ekonomi yang disimbolkan dengan angka-angka, pertumbuhan ekonomi, Inflasi, Indeks Price dan fenomena lainnya adalah haru biru laporan BPS.

Data-data BPS ini telah menjadi acuan dalam berbagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah dan telah menjadi malaikat pemberi kabar bagi investor untuk melakukan ritualitas investasi. Dalam konteks ini BPS telah memberikan utility bagi aktor-aktor ekonomi bahkan berguna bagi akademisi dan ekonom untuk menguji teori-teori ekonomi yang disakralkan.

Di luar itu, menarik jika Pradigma penelitian ekonomi yang melahirkan angka-angka simbolik ditelisik lewat proses penelusuran pradigma yang menstimulan dan menjadi acuan bagi ekonom untuk melahirkan angka-angka penelitian yang merupakan terjemahan dari fenomena ekonomi. Tentunya dominasi pradigma fungsionalisme dalam penelitian Ekonomi telah menjadi sakral dalam kalangan ekonom—uji statistik, uji matematis serta ekonometrika meramaikan analisis ekonomi, semua ini dibingkai dalam karidor keyakinan positivistik yang mengedepankan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan fenomena ekonomi, semua ini adalah etika yang tidak boleh dilanggar oleh seorang ekonom dalam tradisi-Nya. Konsekwensi logis dari tradisi research ekonomi ini ialah kegagalan prediksi. Hal ini lumrah dan dihitung sebagai kesalahan yang biasa dan tidak mengoyahkan tradisi penelitian ekonomi dalam pradigma fungsionalisme. Blue print dari permasalahan ini ialah fenomena ekonomi tidak selamanya bisa dikiaskan dengan fenomena alam, sebab fenomena ekonomi lahir dari perilaku manusia yang bersipat dinamis dan dependen dengan stimulan dari luar dirinya (eksternal stimulan) maupun stimulan dari dalam dirinya (internal stimulant) sebagai mahluk sosial. Tidaklah lacur ketika Paul Ormerod mengucurkan pituahnya dalam magnum opus-Nya “The Death Of Economics” , bahwa asumsi-asumsi matematis dalam tradisi ilmu ekonomi “orang bisa merasakan asumsi ini sangat berlebihan dibanding dengan kenyataan. Namun demikian, ekonom ortodoks tidak menghiraukannya. Mereka sadar, tanpa asumsi tersebut makalah-makalah mentereng tidak mungkin lahir. Demikianlah ilmu ekonomi ortodoks beranak pinak matematika, bukan karena adanya masalah ekonomi yang mendesak”.

Hasil-hasil kajian matematis terhadap fenomena ekonomi terutama pertumbuhan ekonomi bersipat truth probability (berkemungkinan benar), namun bersipat mengawan dan terlalu samar untuk dipahami oleh masyarakat awam, hal ini lumrah karena pradigma fungsionalisme dalam tradisi positivistik mengajarkan bahwa masyarakat harus direkayasa berdasarkan kemauan ilmuan “rekaya sosial” inilah yang mendorong terjadinya “gap” antara mind ekonom dengan realitas perekonomian. Dalam konteks ini sederet prediksi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi ilmu ekonomi menghasilkan ramalan yang absurd dan terkesan tidak populis, sederet angka ini hanya bermamfaat sebagai informasi yang berguna bagi investor untuk mengambil kebijakan investasi.

Menguak tabir semu prediksi pertumbuhan ekonomi

Rekasaya sosial adalah kata kunci pendekatan fungsionalisme-positivistik—hasil prediksi berupa angka-angka adalah simbol pendekatan ilmu ekonomi dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi. Semua ini dilakukan dalam frame rekayasa simbolik dari asumsi-asumsi matematis. Pendekatan matematis dalam memprediksi pertumbuhan ekonomi telah melahirkan gelumbung semu pertumbuhan ekonomi. Atmosfer ini terlahir dari kias-kias yang telalu mekanika-biologis (over mecanism-biology), sementara terjadinya inflasi, pendapatan masyarakat dan pertumbuhan PAD berporos pada tindakan masyarakat dan elit-elit ekonomi, seperti Chebol dari Karporat dalam suatu negara, tindakan-tindakan aktor ini jelas bersipat sosial dan berbentuk kualitatif, diskontinuitaspun sering terjadi antara variable-variable yang diamati dalam prediksi perekonomian, hal ini disebabkan sifat variable ekonomi bersipat dinamis.

Dari tahun 1930-an Keynes telah mengembangkan metode untuk mengukur pertumbuhan ekonomi yang popular dengan sebutan perhitungan pendapatan nasional (National Accouting), metode ini telah disakralkan secara turun temurun dalam kalangan ekonom. Dalam metode perhitungan pendapatan nasional ini hanya memperhatikan transaksi yang bersipat uang, sembari memarginalkan transaksi yang bersipat lain seperti pencemaran dan pekerjaan rumah tangga. Padahal eksistensi transaksi non-money adalah variable yang berpengaruh terhadap pendapatan nasional, lalu kenapa diabaikan? Pengabaian ini karena adanya asumsi cateris paribus (variable non money dianggap tetap), alasan lain dari pangabaian ini ialah karena variable non-money tidak dapat diukur, tradisi telah mengakibatkan prediksi semu dari pertumbuhan ekonomi. Karena pencemaran adalah hal yang mengurangi utility social dari perekonomian suatu negara.

Bagaimanapun indahnya hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi, bagaimanapun validnya perhitungan dan prediksi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan ekonom, tidak akan merubah perekonomian suatu negara. Namun efek dari prediksi pertumbuhan ini hanya mempengaruhi preference dan sikap masyarakat terhadap masalah dan prioritas perekonomian. Dalam konteks Indonesia prediksi prospek perekonomian Indonesia tahun 2007, menemukan jalan buntu, alamatnya prediksi ekonom yang terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 2007 yang mengatakan perekonomian akan lebih baik—kinerja otomotif, dan limiditas pengeluaran pemerintah serta gairah konsumsi masyarakat akan mengalami inkrementasi menjadi benchmark yang mengindikasikan perbaikan ekonomi Indonesia tahun 2007. berseberangan dengan itu kenyataan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 masih bersipat mixed feeling (mendua), satu sisi kurs rupiah menguat namun satu sisi pengeluaran pemerintah bertambah terkonsetrasi dalam pembiayaan non-produktif dan tingkat penganguran masih saja berkutat dalam wilayah yang dilematis. Semua prediksi pertumbuhan ekonomi teronggok dalam keranjang semu-nya prediksi ekonomi.

Prediksi ilmu ekonomi dalam meramalkan pertumbuhan ekonomi tidak selama ampuh melakukan eksplansi, ini disebabkan segala yang berhubungan dengan aktor ekonomi—masyarakat, pasar dan individu tidak sepenuhnya bersipat natural, akan tetapi kadang menjelma menjadi hal yang bersipat sosial. Dalam konteks ini perlu ada keterbukaan ekonom menerima pendekatan kualitatif dalam melakukan prediksi pertumbuhan ekonomi suatu negara ◙

Saturday, June 09, 2007

Bencana Alam dan Keserakahan Kita

Bencana Alam dan Keserakahan Kita

Oleh : Mhd. Fauzan Azim

Bencana adalah hal yang sangat menakutkan bagi setiap makhluk yang bernyawa, itulah kira-kira ungkapan yang terlintas dalam setiap fikiran kita. Tidak hanya manusia, makhluk tuhan yang lainpun kalau bisa bicara akan berujar layaknya manusia bicara. Bencana seakan menjadi bagian dari kehidupan dunia. Dimanapun, kapanpun, bencana muncul dengan bentuk yang berbeda terkadang sama dan bahkan bisa berulang-ulang. Kenapa semua itu bisa terjadi? Apakah Yang Maha Kuasa tidak sayang dengan ciptaannya, ataukah semua itu merupakan jawaban yang diberikan oleh Tuhan terhadap teka-teki kehidupan yang dibuatnya sendiri? Sebagai makhluk yang dikaruniai dengan fikiran dan nafsu kita tentu bisa berkaca dari semua yang terjadi dari pepatah orang minang sendiri “alam takambang jadi guru” dan orang bijakpun mengatakan “pengalaman adalah guru yang sangat berharga”.

Untuk jawaban semua itu mestikah kita bertanya pada rumput yang bergoyang seperti yang didendangkan oleh musisi kondang Ebit G Ade dalam syairnya lagunya. Tak jauh dari apa yang dikatakan oleh Ebiet dalam syair lagunya sebagai bangsa yang beriman tentu kita bisa merujuk kembali semua itu kepada keyakinan kita. Disebutkan dalam al-Qur’an “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Ruum: 41) senada dengan yang disebut dalam surat Ar-Ruum: 41 diatas, secara teoritis ilmu pengetahuanpun mengatakan bahwa bencana memang tidak mungkin diatasi secara serta merta tapi paling tidak diminimalisir untuk terjadi.

Di Indonesia bencana seolah menjadi tradisi tahunan yang tak henti-hentinya datang silih berganti mulai dari banjir, kebakaran hutan, gempa bumi, longsor, dan sebagainya. Apabila kita bandingkan dengan negara-negara lain, ada persamaan namun ada juga perbedaan yang sangat signifikan tentang paradigma kita terhadap bencana itu sendiri. Persamaannya adalah bencana dialami oleh setiap negara disetiap belahan dunia manapun mulai dari perang, banjir, longsor, gempa bumi, topan, badai, kebakaran dan lain sebagainya. Perbedaannya adalah terletak pada paradigma kita dalam memahami sebuah bencana dan bagaimana mengatasinya. Kita seolah sudah terbiasa dengan kedatangan bencana.

Setiap tahun selalu ada daerah yang kedatangan banjir, kebakaran hutan, longsor dan sejenisnya dan seolah tidak ada upaya serius dan konkrit untuk meminimalisirnya. Suatu hal yang sangat memilukan dan membuat muka kita merah ketika negara kita pernah djuluki sebagai eksportir asap oleh negara-negara tetangga. Akankan stigma yang memilukan ini menjadi cambuk bagi kita untuk merubah kondisi yang ada, ataukah hanya akan menjadi bahan omongan elit politikus dunia di sela-sela kecapean dan kejenuhan mereka mengurus bangsa mereka. Jawabannya tentu bergantung kepada kita sejauh mana kita mampu membuktikan bahwa Indonesia tidak seburuk yang mereka bayangkan. Ataukah ini sudah takdir untuk bangsa kita, tentunya kita tidak mau menyerah begitu saja kepada nasib, al-Qur’an pun tidak sependapat kalau kita menyerah begitu saja (“….Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri....” (Ar-Rad 11).

Dalam hal penanggulangannya, pemerintah merupakan lembaga berwenang yang mesti berada di garda depan untuk memperbaiki semuanya. Harapan ini hendaknya tentu berbuah tindakan yang kongkrit dari pemerintah dan perlu adanya upaya menyeluruh dari setiap komponen bangsa. Namun sayang ditengah harapan yang membumbung dari rakyat pemerintah malah melahirkan kebijakan yang memperparah stigma khas kita. Pemerintah terkesan ambigu dalam mengeluarkan setiap kebijakannya, seakan mereka tidak pernah memikirkan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan mereka sendiri.

Namun pada klenyataannya, pemerintah dalam hal ini tidak menjadi lembaga terdepan dalam pencegahan dan penganggulangan bencana. Dan bahkan pemerintah telah menjadi penyebab pula dari terjadinya bencana. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kasus diresmikannya AW kafe & restourant yang lazim disebut dengan kafe terapung di kawasan pariwisata Marina Batang Arau kota Padang oleh Sekdako Padang pada 8/3 lalu. Kebijakan walikota Padang mengizinkan pendirian kafe terapung sangat kontradiktif dengan berbagai penertiban yang dilakukan. Kenapa masyarakat yang belum memiliki IMB begitu akan mendirikan bangunan lansung dihentikan Pol PP. Namun ini sudah jelas-jelas tidak memiliki satupun izin, tetapi tidak diapa-apakan. Padahal pendirian kafe tersebut jelas melanggar ketentuan atau perundang-undangan yang berlaku, diantaranya pasal 2 UU No. 7 tahun 2004 yang mengatakan, SDA dikelola berdasarkan azas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan dan kemandirian serta transparasi dan akuntabilitas. Pada pasal 3 disebutkan, SDA dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan SDA yang berkelanjutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam SK Gubenur Sumbar No 10/1995 tentang sepadan sungai, dinyatakan bahwa “jarak sepadan batang arau dengan banjir kanal adalah 16 meter”.

Pembangunan kafe terapung secara permanent telah menyebabkan penyempitan aliran sungai di bagian hilir (bottle neck). Aliran anak sungai Batang Arau yang dulunya 6 meter sekarang hanya tinggal 3 meter saja dan tentu sangat beresiko sekali. Wajar sebagian anggota DPRD kota Padang dan berbagai kalangan mempertanyakan konsistensi Pemko Padang dalam menegakkan aturan. Akankah peraturan yang dibuat dengan banyak meghabiskan biaya dan tenaga untuk mengejar kepentingan sesaat lalu kita mengabaikan suara hati rintihan alam utuk melestarikan mereka. Siapa yang mesti disalahkan dalam fenomena ini mestikah patriotisme rakyat dipertanyakan ketika kebijakan Negara melalui pemerintah digugat, salahkah rakyat yang telah memainkan fungsinya sebagai warga yang kritis untuk masa depan yang lebih baik? Merenungi kembali apa yang didendangkan oleh Ebiet G Ade “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai enggan bersahabat dengat kita, coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang“. Ya mungkin saja alam marah dengan sikap kita sehingga Tuhan pun bosan dengan kita umatnya.

Sangat mustahil mengatasi bencana tanpa ada upaya serius dari pemerintah untuk mencegahnya terjadi kalau toh pemerintah sendiri tidak konsisten untuk menerapkannya. Seperangkat aturan yang telah dibuat ibaratkan barang mainan yang seenaknya di utak-atik untuk kesenangan pemiliknya. Alangkah menggelikan ketika ditanya soal kebijakkannya terkait izin pembangunan kafe terapung bapak Walikota mengatakan “itu hak prioregatif saya” (singgalang 15/3). Hal ini jelas mengabaikan tujuan kehendak nurani luhur dari masyarakat untuk terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sepertinya halnya dalam konsep civil society. Mahatma Gandhi sendiri pernah mengatakan “sebenarnya alam cukup kaya untuk memberikan manfaat kepada umat manusia, tetapi tidak untuk orang yang serakah”. Merenungi apa yang dikatakan Ghandhi tersebut, jelas bahwa mengelola alam tanpa memperhatikan akibat jangka panjang sudah barang tentu akan merusak kelestariannya dan akibatnya kalau tidak kita anak cucu kita akan merasakannya. Sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan fitrah (kemampuan bawaan dan intuitif untuk membedakan yang benar dan salah) dan cenderung kepada yang baik, kebenaran dan hal yang suci (hanafiah), al-Qur’an menjelaskan kegagalan yang paling kentara selalu muncul karena memikirkan kepentingan jangka pendek, disebabkan karena kita merasa benar maka sangat riskan dan berpotensi menjadi tiran ketika telah merasa kuat, sepertinya pemerintah tidak mengindahkan masukan yang telah diberikan. Padahal al-Qur’an juga menjelaskan bahwa pentingnya mendengarkan ekspresi seseorang karena dengan kedua bekal sifat dikaruniakan kepadanya akan menuntun mereka kepada yang benar. (Nurcholish Madjid: Jalan Baru Islam). Tentunya ini pantas untuk direnungkan dan dperhatikan.

Kita juga tidak menyangkal bahwa berdirinya Kafe AW telah membawa dampak ekonomis bagi masyarakat sekitar. Terbukti kafe tersebut telah meraup tenaga kerja sebanyak 45 orang pekerja dan telah mampu mengurangi beban perintah dalam menurunkan angka pengangguran. Namun persoalannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sebelum didapatkan surat izin membuat bangunan (IMB) dalam mendirikan bangunan tentu dianalisis dampak yang akan ditimbulkan pada lingkungan oleh instansi yang berwenang. Dalam konsep pengembangan pariwisata sebenarnya jika kafe terapung dibangun diatas kapal tentunya otomatis jalur air disungai tidak akan terhambat sekaligus selaras dengan kondisi pasang surut dan bisa menjadi ocean cross (penyeberangan laut). Tetapi apabila bangunan dibuat secara permanen justru akan menghambat dan mempersempit jalur sungai dampaknya akan berakibat berpidahnya jalur sungai.

Apa yang dikhawatirkan berbagai kalangan klimaksnya berujung kepada meluapnya banjir air pasang di pemukiman warga kelurahan Berok Nipah Padang, sedikitnya 200 rumah warga tergenang saat air muara batang arau meluap. Limbah rumah tangga dan sejenisnya menjadi ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini tentu tidak biasa dibiarkan berlarut-larut. Kendati mengakui bahwa kebijakannya telah meninggalkan debit air di kawasan itu fenomena alam tetap menjadi kambing hitam oleh pemerintah, ironis bukan! Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak ada upaya konkrit pemko Padang untuk mengurangi beban penderitaan rakyat. Bukannya malah mengurangi penderitaan rakyat namun memperparah kondisi mereka dengan penyelewengan amanah yang telah diberikan kepada umara’ (pemerintah) yang mereka percaya.

Dalam kasus AW kafe ternyata tidak hanya menjadi penyebab dalam bencana yang sifatnya alamiah, namun di sisi lain kasus tersebut juga menimbulkan masalah baru dan cukup pelik, di mana dengan ditutupnya AW kafe dengan SK Sekdako Padang No: 503.35/ER-IV/2007 pemko Padang telah menimbulkan munculnya pengangguran baru yang melahirkan konflik sosial yang menifest di tengah masyarakat. Hal tersebut sebagaimana kita lihat dalam kasus demo yang dilakukan oleh pegawai AW (singgalang 25/04). Dalam skala yang lebih luas masyararakat telah dirugikan untuk kegiatan pengelolaan berbagai sungai yang melintasi kota Padang Dalam skala yang lebih luas masyararakat telah dirugikan. Rp 1,6 triliun telah dihabiskan untuk kegiatan pengelolaan berbagai sungai yang melintasi kota Padang. Untuk perawatannya pemprov sumbar telah menggarkan dana yang tidak sedikit pula. Pemko Padang terpaksa menjilat ludahnya sendiri untuk mengakhiri drama perselingkuhannya dengan kaum borjouist negri ini. Kafe terapung akhirnya ditutup setelah Sekdako Padang H. Firdaus K, SE sendiri yang meresmikannya pada tanggal 8/3 lalu.

Kasus ini jelas menambah deretan “monumen kegagalan” pembangunan di kota padang setelah TRB yang disfungsi, kemacetan di pusat kota, terminal bayangan di depan kampus UNP dan lains sebagainya. Untuk selanjutnya mau di bawa ke mana kota Padang oleh penguasanya? Wallahua’lam bi as-Shawab

Oleh : Muhammad Fauzan Azim

Penulis adalah Mahasiswa Jinayah Siyasah (Pidana dan Politik Islam) Fakultas Syari’ah

IAIN Imam Bonjol Padang

Sunday, June 03, 2007

GALLERY LKS MTI CANDUNG

GALLERY LKS MTI CANDUNG

Tuesday, May 29, 2007

Soal Agama dan Budaya; Bertegas-tegaslah!

Soal Agama dan Budaya; Bertegas-tegaslah!

(Refleksi 79 Tahun Persatuan Tarbiyah Islamiyah)

Oleh: Muhammad Nasir

Mahasiswa Pascasarjana IAIN IB Padang

Tarbiyah Islamiyah atau sebelumnya lebih dekat di lidah masyarakat dengan sebutan PERTI, merupakan anak kandung politik pemikiran Islam Sumatera Barat. Kelahirannya tidak lepas dari perkawinan (sintesis) pemikiran tradisionalisme Islam dengan pemikiran kaum pembaharu. Jika ada yang mengatakan Tarbiyah Islamiyah sebagai representasi Kaum Tua, maka anggapan itu terlalu lemah dan tendensius. Apalagi sampai mengatakan Tarbiyah Islamiyah sebagai sarang Takhyul, Bid’ah dan Churafat (TBC) yang nyata-nyata sesat dan tidak Islami.

Padahal, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah tidak pernah mengajarkan warganya untuk mebakar kumayan ketika akan memulai do’a bersama!” tegas Buya H. Ahmad Khatib Maulana Ali (1915-1993) kepada penulis tujuh belas tahun yang lalu. Jawaban berikutnya, “bialah, ndak usah dipikia bana masalah kumayan tu. Bisuak kalau urang indak manjua kumayan lai, urang Tarbiyah pasti indak mambaka kumayan lai.” Biarkan saja, tidak perlu dipersoalkan. Ada saatnya kumayan tidak dijual lagi, budaya itupun pasti hilang. Jawaban ini sungguh merupakan kearifan dan pembacaan yang cermat terhadap kebudayaan.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah didirikan oleh para ulama Minangkabau yang menyebut dirinya Ahl al sunnah wal Jama’ah pada 5 Mei 1928 bertepatan dengan 15 Zulkaidah 1346 H. Tercatat beberapa nama yang ikut mendirikan ormas Islam ini, di antaranya; Syekh Sulaiman al Rasuli (Inyiak Canduang), Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Mohd. Djamil Djaho (Inyiak Djao) Syekh Abd Wahid al Shalihi, Syekh Arifin Arsyad Batu Hampar, Syekh Ahmad Baruh Gunung, Syekh Abd Madjid Koto Nan Gadang, Syekh Djamaluddin Sicincin, Syekh Mohd. Alwi Koto Nan Ampek dan HMS Sulaiman Bulittinggi.

Syekh Ahmad Khatib Maulana Ali di Salo mencatat, kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini merupakan pertama, reaksi terhadap gerakan pengikut Wahabi di Minangkabau yang terlalu keras berdakwah, hingga tanpa tenggang rasa menghantam kian kemari. Kedua, untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar. Lebih jauh Inyiak Imam Salo menjelaskan, apabila satu kebenaran berhadapan dengan kebenaran lainnya yang mungkin bernilai sama, maka wajibkah mengikuti sesuatu yang menurut adatnya terlihat baharu? Kalaupun harus terjadi, yang baru diterima sebagai kecendrungan zaman (trend) tanpa harus membatalkan yang lama yang bernilai sama. Ketiga, Tarbiyah Islamiyah merupakan bentuk penerimaan terhadap pola pendidikan modern. Keempat, Tarbiyah Islamiyah sebagai bentuk penolakan yang halus terhadap model ijtihad kaum muda. Kelima, untuk mempertahankan prinsip-prinsip bertaqlid kepada Imam-imam Madzhab yang dianggap berkompeten. Keenam, yang lain dari pada itu hanyalah persoalan politik dan kemasyarakatan saja. (Inyiak Imam Salo, Catatan Pribadi, 1976)

Memahami Tarbiyah Islamiyah sebagai sebuah lembaga pendidikan, dakwah dan sosial dalam semangat agama Islam haruslah berangkat dari dua hal, pertama: dari sesuatu yang ada di organisasi itu, kedua; haruslah melihat lembaga ini sebagai bagian dari proses yang lebih besar. Hal ini dilakukan agar setiap kajian selalu berdiri dalam posisi yang adil dalam melihatnya.

Bagian pertama, penting melihat ke dalam Tarbiyah Islamiyah itu sendiri. Apakah betul Tarbiyah Islamiyah sedimentasi Minagkabau Jahily dan yang imannya keropos karena “TBC”? Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar masyarakat Minangkabau sebagai ranah spacial Tarbiyah Islamiyah masih mencapuradukkan antara tradisi lokal dengan pengamalan agama. Sebagian masyarakat justru meniatkan semua itu untuk tunduk dan patuh terhadap ajaran agama. Sayangnya, praktik yang demikian dapat menjadi bid’ah bila tidak ditemukan akar nash dan praktik beragama di zaman nabi. Akan tetapi tidak serta merta boleh dikatakan, praktik yang demikian itu menjadi trade mark Tarbiyah Islamiyah. Lalu dengan semena-mena mengatakan, kemenyan (kumayan), tahlil, zikir jama’ah, talqin, qunut dan sebaginya adalah Tarbiyah Islamiyah. Namun jangan lupa, sebagian yang disebut di atas juga menjadi amalan bagi mereka yang secara tegas mengaku aliran pembaharu bahkan pemurnian Islam. Dalam hal ini penting membedakan mana yang tradisi lokal dan mana yang tradisi agama (sesuai sunnah dan Islami).

Bagian kedua, Tarbiyah Islamiyah lahir dari sebuah proses yang lebih besar, yaitu jiwa zaman (zeitgeist) yang menuntut perubahan radikal untuk mendorong kepada kemajuan. Tetapi, apakah karena praktik berqunut, berzikir jama’ah, talqin mayyit dan sebagainya itu, umat Islam langsung terhambat kemajuannya? Jawabannya akan mudah didapatkan dengan menggunakan metode falsifikasi Karl Popper, si bule postmodernist. Ternyata ada juga orang yang berqunut jadi profesor dan kaya raya, tapi tidak korupsi.

Sejak 1928 hingga sekarang, Tarbiyah Islamiyah sudah memproklamirkan diri sebagai organisasi yang bermuatan pendidikan, dakwah, dan sosial. Pendidikan yang dimaksudkan organisasi disini berarti sebagai sebuah lembaga dimana sebuah doktrin keagamaan diajarkan. Dakwah yang dicantumkan berarti dengan strategi apa doktrin itu disampaikan. Sosial berarti kepada siapa doktrin itu diajarkan. Maka esensi sebenarnya adalah pendidikan Islam (al tarbiyyah al Islamiyyah) itu sendiri sebagai upaya memerdekakan manusia dari belenggu kebodohan dan kelemahan manusia.

Pendidikan yang dimaksudakan adalah sekolah-sekolah/ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Secara specific, ajaran utama yang dikembangkan di sekolah-sekolah itu bercorak kalam Sunny (ya’taqidu bi I’tiqady ahl al Sunnah wal Jama’ah) dan beraliran fikih Syafi’i. Begitu juga dengan dakwah yang berarti dengan cara apa I’tiqad dan madzhab itu disampaikan. Sementara esensi sosial adalah mukhatab/ audience, di mana ajaran itu harus diamalkan.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu diamalkan oleh warga Sumatera Barat yang berafiliasi kepada berbagai ormas Islam, khususnya dalam hal toleransi antar umat seagama. Pertama, serius membaca sejarah setiap organisasi Islam, agar dapat saling memahami. Kedua, serius mengamalkan doktrin organisasi masing-masing. Ketiga, serius menghormati saudara-saudara kita yang tidak seamalan-seorganisasi. Hal ini penting sebagai jaminan kesehatan hubungan sosial di negeri ini.

Haqqul yaqin, kesejahteraan, kemajuan dan kejayaan umat tidak terkait langsung dengan organisasi kemasyarakatan Islam. Faktanya, warga Muhammadiyah ada yang kaya dan berpikir maju, namun ada juga yang miskin dan berpikir kolot. Warga Tarbiyah Islamiyah begitu juga. Persoalan kemajuan sangat erat kaitannya dengan kerja keras dan kemauan yang kuat untuk belajar dalam mengatasi tantangan.

Arnold Toynbee dalam teori Challenge and response-nya yang terkenal menyatakan peradaban manapun di dunia ini akan bertahan apabila ia dapat mengatasi tantangan dengan memberikan jawaban (response) yang lebih dari cukup agar tantangan itu tidak membuat peradabannya jatuh ripuk. Pemikiran Toynbee yang Kristen namun dalam beberapa segi seperti menganut konsep alkasb dalam teologi sunny itu mengemukakan, yang dapat menyelamatkan peradaban dari kehancuran adalah kelompok kecil yang kreatif (creative minority). Mereka bisa saja orang-orang tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, atau mungkin saja yang lain dari pada itu. Nah! Selamat ulang tahun ke-79 Tarbiyah Islamiyah. (Padang, 27/04/2007 0:02)